Jumat, 10 Desember 2010

teologi islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Syukur alhamdulillah kami mahasiswa kelas C kelompk VIII jurusan Pendidikan IPS Fakultas Tarbiyah dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Teologi Islam dengan judul “Aliran Maturidiyyah ” yang dibimbing oleh Bapak Drs.Bashori.
Teologi sebagaimana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pd landasan kuat, yang tidak mudah diombang-ambing oleh peredaran zaman. Mata kuliah teologi islam untuk mempekenalkan aliran-aliran dalam islam yang berkelainan itu terhadap umat islam.
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah. Sebagai pengikut Abu Hanafiah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya. Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaanNya. Dalam masalah iman aliran Maturidiah Samarkhand berpendapat iman adalah Tashdiq bi al qolb bukan semata-mata dengan iqrar bi al lisan. Al-Maturidi mengatakan bahwa tuhan kelak diakhirat dapay dilihat dengan mata, karena tuhan mempunyai wujut walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan kelak diakhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan diakhirat tidak sama dengan didunia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asal usul Aliran Maturidiyyah?
2. Apa saja Pemikiran-pemikiran Aliran Maturidiyyah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Agar mahasiswa mengetahui asal-usul aliran al-Maturidiyyah
2. Agar mahasiswa mengetahui pemikiran-pemikiran al-Maturidiyyah


BAB II
PEMBAHASAN

A. Asal-usul Aliran Maturidiyyah
Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidahIslamiyyah.
Nama lengkap al-Maturidi ialah Muhammad ibnu Muhammad ibnu Mahmud. Tokoh yang dikenal dengan Abu Mansyur al-Maturidi ini dilahirkan di Muturid, sebuah daerah di Samarkand termasuk kawasan Mawara’ al-Nahr pada pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan wafatnya pada tahun 333 hijriah. Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ketiga hijrah, dimana aliran mu’tazilah sudah mulai mengalami kemundurannya, dan diantara gurunya ialah Nsr bin Yahya al- Balakhi ( wafat 268 H).
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikosentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam karya tulis diantaranya ialah kitab tauhid,ta’wil al-Quran, Makhaz Asy-syara’i, Al-jadi, Ushul fiqih uhul ad-din, Maqlqt fi Al-ahkam Radd Awa’i Al-abdillah li al-kalbi dll. Pada masanya negri Samarkand merupakan tempat diskusi dalam ilmu fiqih dan usul fiqih.Diskusi dibidang fiqih berlansung antara pendukung mazdab Hanafi dan mendukung madzab Safi’i. Berbagai kelompok masyarakat senantiasa menghidupkan diskusi dimasjid-masjid.
Ketika perselisihan para fuqaha dan Muhadissin dan mu’tazilah semakin sengit, diskusi berjalan dibidang ilmu kalam, fiqih dan usul fiqih. Al-Maturidi hidup ditengah-tengah perlombaan yang berlansung ketat dalam rangka menghasilkan pemikiran dan penalaran. Ia adalah pengikut Abu Hanafiah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanafiah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah. Sebagai pengikut Abu Hanafiah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Abu Mansur al-maturudi membangun pemikiran-pemikirannya dibidang aqidah berdasarkan riwayat dari Abu Hanifah yang terdapat beberapa risalah yang ia riwayatkan darinya dan mengembagkanya secara lebih detail. Ia juga merujukkan pemikiran yang tidak tersebut didalamnya kepada pemikiran yang ada didalamnya. Ia memantapkan berbagai ketentuan syara’ dengan dalil-dalil rasional yang logis dan argumentaasi yang tidak diragukn lagi keabsahannya. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa komentar terhadap kitab al-fiqih al-Akbar, yang diduga sebagai karangan Abu Hanafi, merupakan karya al-Maturidi. Namun penelitia ilmiah membuktikan bahwa komentar tersebut ditulis oleh Abu al-Laits al-Smarkandi seorang faqih madzab Hanafi yang terkenal. Dari perbandingan itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-Maturidi sebenarnya berintikan pikiran-pikiran Abu Hanafia dan merupakan penguraiannya yang lebih luas . Pertalian antara dua tokoh tersebut dikuatkan oleh pengakuan al-Maturidi sendiri, bahwa ia menerima (mempelajari) buku-buku Hanafiah dengan suatu silsilah nama-nama yang dimulai dari gurunya dan seterusnya sampai kepada pengakuannya sendiri.
Kebanyakan ulama-ulama Maturidiyah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqih Hanafiyah, seperti Fakhrudin al- Bardawi, at-tazam, an-Nasfi, Ibnul Hammam dan lain-lainnya. Salah satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi (421-493). Nenek al-Bazdawi adalah murid al-Maturidi, dan al- Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-’Aqa ’idal-Nasafiah. Seperti al-Baqillani dan al-Juwaini, al- Bazdawi tidak pula biasanya sepaham dengan al-Maturidi. Antara pemuka kedua aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa aliran Maturidiyah terdapat dua golongan yaitu: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidiyah sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al- Bazdawi. Kalau Samarkand mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepada paham Mu’tazilah, golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al Asyariah. Aliran Maturidiyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah teologi yang banyak dianut oleh umat islam yang memakai madzab Hanafi.

B. Pemikiran-Pemikiran Aliran Al-Maturidiyyah
1. Akal dan Wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada al-Quran dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikan kepada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh al-Asya’ri. Sebenarnya, al-Maturidi bersandar pada penalaran akal yang dibarengi dengan petunjuk syara’. Dengan demikian dia berbeda dengan fuqaha dan para muhaddist yang mengharuskan untuk bersandar kepada dalil naqli dan mencari kebenaran melalui dalil naqli, bukan melalui dari dalil yang lain, karena penalaran rasional dikhawatirkan akan mengakibatkan kesesetan dan penyimpangan. Dalam menolak pendapat ini, al-Maturidi mengatakan didalam kitab al-Tauhid ” Sebenarnya pandangan itu merupakan bisikan setan. Orang yang mengingkari penalaran rasional tidak mempunyai dalil kecuali penalaran juga. Ini berarti mereka harus mengatakan pentngnya penalaran. Mereka bisa menginkari penalaran itu , Sedangkan alloh menyerukan kepada hamba-hambaNya untuk melakukan penalaran, berfikir, merenung, dan mengambil pelajaran ini merupakan dalil bahwa penalaran dan pemikiran merupakan salah satu dari sumber ilmu.
Al-Maturidi mengakui bahwa akal merupakan salah satu sumber ma’rifah yang dikhawatirkan dapat membawa kesesatan. Namun, kekhawatiran itu tidak membuatnya melarang penalaran sebagaiman yang dilakukan muhaddisin dan fuqaha. Bahkan hal itu mendorongnya untuk bersikap hati-hati dan berusaha menjaga diri dari kesesatan dengan bersandarkan kepada dalil naqli , disamping dalil aqli . Ia mengatakan ” Barang siapa mengigkari hal itu ( maksutnya sikap hati-hati dengan bersandar kepada dalil naqli) dan bermaksut untuk apa saja yang mencapai yang tertutup bagi akal pikiran serta meliputi seluruh hikmah ketuhanan dengan akalnya yang tidak sempurna dan amat terbatas, tanpa berdasarkan petunjuk dari Rosul, maka sebenarnya ia menzalimi akal dan membebaninya dengan suatu beban yang diluar dengan kesangggupannya’’ Kesimpulannya, al-Maturidi berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk dengan syara’.
Dalam masalah baik buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai barik buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara baik dan buruk, namum terkadang pula mampu mengetahui sebagian barik dan buruk sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperlukan untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam yaitu :
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahi keburukan sesuatu itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu itu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu
Tentang mengetauhi kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal, Al- Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuaan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketuntuan ajaran wahyu saja. Dalam persoalan ini Al-Maturidi berbeda berpendapat dengan al-Asay’ri. Menurut al-Asyari baik dan buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu sendiri dipandang baik karen aperintah syara dan dipandang buruk karena larangan syara. Jadi yang baik itu karena perintah alloh dan yang buruk itu buruk karena larangan alloh. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah Mu’tazilah dan Al-Asyariah.

2. Perbuatan Manusia dan Iman
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaanNya. Khusus mengenai perbuatan manusia Kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini, al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan pencipta perbuatan manusia.Tuhan menciptakan daya (kasb)dalam diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan antara qudrot tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya diciptakan pada diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia sendiri dalam arti yang sebenarnya maka tentu daya itu juga daya manusia. Berbeda dengan al-Maturidi, al-Asy’ri mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya tuhan karena ia memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan berbeda pula dengan mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya ini, al-Maturidi membawa faham Abu Hanifa , yaitu adanya musyiah (kehendak) dan ridho( kerelaan) kebebasan manusia dalam melakukan baik atau buruk yang diridhoinya atau yang tidak diridhoinya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan keleraaan tuhan dan berbuat buruk juga atas kehendak tuhan tetapi tidak atas keleraannya. Dengan demikian berarti mansia dalam faham al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah
Dalam masalah iman aliran Maturidiah Samarkhand berpendapat iman adalah Tashdiq bi al qolb bukan semata-mata dengan iqrar bi al lisan. Pengertian ini dikemukan oleh al-Maturidi sebagai bantahan terhadap al-Karimiya, salah satu subsekte Murji’ah. Al-Maturidi berargumentasi dalam ayat al-Quran.

Artinya : Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Hujurat: 14)
Ayat tersebut dipahami al-Maturiyah sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh hati. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal jika hati tidak mengikuti ucapan lidah.Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya , tasdhiq yang dipahami diatas, harus dipahami oleh ma’rifah. Tasdhiq hasil dari ma.rifah ini didapatkan melalui akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu, Lebih lanjut al-Maturidi mendasari pandangannya berdasarkan dalil naqli surat al-Baqarah ayat 260

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah[ semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Pada surat al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang udah mati. Permintaaan Ibrahim tersebut lanjut Al-Maturidi tidaklah berarti nabi Ibrahim tidak beriman. Akan tetapi Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilkinya dapat meningkat dengan iman hasil ma’rifah. Jadi menurut al-Maturidi iman adalah tasdiq yang berdasarkan ma.rifah. Maskipun demikian ma’rifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan factor penyabab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyyah Bakhara , sperti dijelaskan oleh al-bazdawi adalah tashdiq bil alqalb dan tasdhiq bil al-lisan . Lebih lantjut dijelaskan bahwa tashdiq bil al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan alloh dan rosul-rosul yang diutus-Nya besrta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksut tasdhiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran islanm secara verbal.
Maturidiyyah bakhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al bazdawi mengatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan sebagai baynagan dari iman. Jika bayang itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya dengan kehadiran bayangan-bayangan(ibadah) itu, iman justru makin bertambah .
Al-Maturidi berpendapat bahwa dosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini karena tuhan telah menjanjikan akan memberikan kepada manusia sesuai dengan amal perbuatannya. Kekal didalm neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal didalam neraka.. Oleh karena itu perbuatan dosa besar selain syirik tidaklah menjadikan seorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi iman itu cukup dengan tashdiq dan ikrar sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.

3. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Mengetahui perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkan, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memilki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai paham banyak Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti member upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin membatalkan ancaman bagi orang-orang yang berbuat dosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman Rasul, sesuai paham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Samarkand memberikan batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehinggan mereka menerima paham adanya kewajiban-kewajiban mutlak bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tantang pemberian upah dan pemberian hukuman. Mengenai memberikan beban kepada manusia diluar kemampuannya (taqlif ma la yutaq), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata Al-Bazdawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Maturidiyah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh Al-Faqh Al-Abar, Al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy’ariyah dalam hal ini karena Al-Qur’anmengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. Pemberian beban yang tak terpikul memang dapat sejalan dengan paham golongan Samarkand bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-parbuatannya dan bukan Tuhan.
Adapun mengenai pengiriman Rasul, aliran Maturidiyah golongan Bkhara, sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan kehendakmutlak Tuhan, mempunyai paham yang sama dengan aliran Asy’ariyah. Pengiriman Rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dengan keterangan Al-Bayadi. Dalam Iyarat Al-Maram, Al-Bayadi menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sepaham dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman Rasul.
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara tidak sepaham dengan Asy’ariyah. Menurut mereka, sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberikan upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman utntuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berbuat dosa besarditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak member ampunan kepadanya. Tuhan akan memasukkannya kedalam Surga, jika Ia berkehendak memberikan hukuman kepadanya, Tuhan memasukkannya ke dalam Neraka untuk sementara atau selamanya. Bukan tidak mungkin Tuhan memberikan ampunan kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain sunguhpun dosanya sama.
Uraian Al-Bazdawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk member upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut Asy’ariyah, sebagaimana diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-jani-Nya. Sebaliknyta menurut Maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk member upah kepada orang yang berbuat baik. Golongan Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat ang sama dengan kaum Mu’tazilah bahwa upah dan hukuman Tuhan pasti terjadi kelak.




4. Sifat-Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan pemikiran antara Al-Maturidi dan Al-Asy’ariyah, seperti dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat sama’, bashar, dan sebagainya. Walaupun begitu pemikiran Al-Maturidi tentang sifat Tuhan bereda dengan Al-Asy’ari, Al-Asy’ari mengertikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pada pula dari sensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan mulazamah (da bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain al dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pengertian anthropomorphisme, karena sifat tidak terwujud yang tersendiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim (taaddud al-qudama).
Tampaknya paham Al-Maturidiyah tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaannya, Al-Maturidimengakui adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazlah tidak mengakui dengan adanya sifat-sifat Tuhan. Sementara itu, Maturidiyah Bukhara yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan banyak yang kekal mereka selesaikan dengan mengatakan dengan sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri, juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama dengan sifat-Nya adalah kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal.
Aliran Maturidiyah Bukhara berbeda dengan Asy’riyah. Sebagaimana aliran lain, Maturidiyah Buhara juga berpendapat Tuhan tidaklah memilki sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Qutr’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil. Menurut Al-Bazdawi, kata istawa haruslah dipahami dengan arti al-istila ala asy-syai’i wa al-qahr alaihi (menguasai sesuatu dan memaksakannya). Demikian juga ayat yang menggambarkan Tuhan mempunyai dua mata dan dua tangan, bukanlah Tuhan mempunyai anggota badan. Golongan Samarkand dalam hal ini kelihatannya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena Al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan.
Maturidiyah Samarkand sependapat dengan Mu’tazilah dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasan Tuhan. Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy’ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya.

Artinya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (Al-An’am 103)
Ayat tersebut yang dijadikan dalil oleh Al-Maturidi yang mendukung pendapatnya tentang Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, diberi tafsiran dengan mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat maka penafian al-idrak (pengungkapan dengan cara-cara yang jelas) tidaklah ada artinya. Hal ini karena bila selain Tuhan dapat ditangkap dengan pandangan menempatkan nafy al-idrak, penafian tersebut menjadi tidak bermakna. Oleh sebab itu Tuhan dapat dilihat oleh mata.
Demikian pula Maturidiyah Bukhara juga sependapat dengan Asy’riyah dan Maturidi Samarkand bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelak memperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat dengan mata kepala, menurut apa yang Ia kehendaki. l-Maturidi Lebih lanjut mengatakan bahwa tuhan kelak diakhirat dapay dilihat dengan mata, karena tuhan mempunyai wujut walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan kelak diakhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan diakhirat tidak sama dengan didunia.
Aliran Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah Samarkand bahwa Al-Qur’an itu adalah kekal tidak diciptakan. Maturidiyah Bukhara berpendapat sebagaimana telah dijelaskan oleh Bazdawi, kalamullah (Al-Qur’an) adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah kalamullah secara hakikat, tetapi disebut Al-Qur’an dalam pengertian kiasan (majaz).
Maturidiyah Samarkand mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan dzat Tuhan dan juga qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat sebab huruf dan kalimat itu diciptakan.




BAB III
KESIMPULAN

Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiyyah. Sebagai pengikut Abu Hanafiah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya. Aliran Maturidiyah terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa aliran Maturidiyah terdapat dua golongan yaitu: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidiyah sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al- Bazdawi. Kalau Samarkand mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepada paham Mu’tazilah, golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al Asyariah. Aliran Maturidiyah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah teologi yang banyak dianut oleh umat islam yang memakai madzab Hanafi.
Menurut al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaanNya. Dalam masalah iman aliran Maturidiah Samarkhand berpendapat iman adalah Tashdiq bi al qolb bukan semata-mata dengan iqrar bi al lisan. Al-Maturidi berpendapat bahwa dosa besar tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Al-Maturidi mengatakan bahwa tuhan kelak diakhirat dapat dilihat dengan mata, karena tuhan mempunyai wujut walaupun ia immaterial. Namun melihat tuhan kelak diakhirat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan diakhirat tidak sama dengan didunia.